Jugun Lanfu Sebagai Potret Kelam Perempuan Korban Kejahatan Perang 2

JUGUN LANFU SEBAGAI POTRET KELAM PEREMPUAN KORBAN KEJAHATAN PERANG 2


Ada 3 (tiga) hal sederhana yang ingin diminta oleh para Jugun lanfu apalagi sejak adanya putusan dua Tribunal internasional di Tokyo dan The Haque, yaitu :

1. Permintaan maaf

Putusan dua tribunal internasional di Tokyo dan The Haque, menyatakan bahwa Tehno Hirohito bersalah dan pemerintah Jepang harus meminta maaf kepada para korban Jugun lanfu. Namun, sampai saat ini, pemerintah Jepang belum juga menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Bahkan, Jepang sendiri tidak mengakui pengadilan rakyat melawan pemerintahan Jepang dan tidak mau melaksanakan putusan tribunal tersebut dengan alasan bahwa Jepang tidak menyepakati perjanjian tentang pengadilan internasional.

Walaupun pemerintah Jepang tidak mengakui pengadilan rakyat internasional tersebut termasuk putusan yang dikeluarkan pengadilan rakyat, namun ada fakta hukum yang ditemukan dalam beberapa dokumen sekitar tahun 1950-an, menyebutkan bahwa militer Jepang terlibat secara langsung dalam pembuatan jaringan rumah pelacuran yang selalu didirikan disekitar markas militer Jepang dan dikenal sebagai lan-jo.

Selain itu, pada 13 Januari 1992, sekretaris kabinet Jepang, kato, untuk pertama kalinya mengakui bahwa tentara kerajaan Jepang terlibat dalam pengelolaan rumah bordil militer lan-jo. Dari temuan tersebut, sudah terbukti bahwa militer Jepang seharusnya bertanggung jawab atas perang yang dilakukannya di Asia Pasifik dan dampak yang ditimbulkan dari perang tersebut. Salah satunya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan (dalam hal ini perbudakan seksual) yang hampir dipastikan selalu muncul dalam setiap perang atau konflik bersenjata.

Permintaan yang tidak banyak namun prinsipil dari para Jugun lanfu kepada pemerintah Jepang, yakni permintaan maaf dan pengembalian hak-hak paling mendasar sebagai manusia. Yakni hak untuk hidup layak sebagai manusia yang bebas dari kekerasan dan stigma sosial yang negatif. Inilah yang menjadi inti dari tuntutan para korban Jugun lanfu.

Jepang sebagai bangsa yang menjunjung tinggi jiwa ksatria dan bertanggung jawab, berbesar hati seharusnya melakukan tindakan yang menunjukkan jati dirinya dengan meminta maaf kepada semua negara yang telah dijajah maupun diduduki semasa perang Asia Pasifik dahulu terutama bagi para Jugun lanfu di Indonesia.

2. Pelurusan sejarah Jugun lanfu dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia

Adanya stigma sosial negatif yang melekat pada diri Jugun lanfu karena masyarakat umum telah terlanjur menganggap Jugun lanfu sebagai pelacur atau perempuan penghibur tentara Nippon, bukan sebagai perempuan korban kekerasan seksual tentara Nippon. Pelurusan sejarah menjadi sebuah keharusan untuk segera dilakukan. Hal ini karena, melalui kurikulum pendidikan yang ada, berkembang persepsi di masyarakat bahwa Jugun lanfu sama dengan "pelacur" yang menyediakan dirinya secara sukarela sebagai menghibur dan pemuas nafsu sexsual militer Jepang. Padahal kenyataannya, Jugun lanfu adalah sebuah keterpaksaan sebagai budak seks. Mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan dan tipu daya dalam bentuk intimidasi teror maupun bujuk rayu atau jebakan pihak Jepang untuk menjadi kan mereka sebagai budak seks di kamp-kamp militer Jepang. (Di iming-imingi pekerjaan yang layak ataupun pendidikan yang lebih baik).

Kenyataan akan adanya pengalihan tanggung jawab dan meniadakan tindakan perbudakan sexual pada masa perang ditambah dengan propaganda Jepang dalam menghilangkan tanggung jawabnya akan dosa-dosa perang mereka, sangat merugikan ex Jugun lanfu dan keluarga nya. Oleh karenanya, perlu dilakukan counter dan pelurusan sejarah melalui perbaikan kurikulum pendidikan sejarah diberbagai tingkatan sekolah kurikulum pendidikan sejarah Indonesia tentang pendudukan Jepang harus ditambah dengan materi Jugun lanfu.

Kesalahan persepsi di masyarakat menyangkut Jugun lanfu yang berkembang dan justru semakin menyudutkan posisi mereka. Kekeliruan tersebut termuat pada buku sejarah dimana Jugun lanfu tidak lain adalah seorang "pelacur" atau "penjaja seks". Oleh karena itu diharapkan dibuatnya sebuah perbaikan sejarah, dilakukan oleh semua pihak yang mengetahui kebenaran terjadinya perbudakan sexual di masa pendudukan Jepang, baik itu dari ahli sejarah, survivor Jugun lanfu maupun guru-guru dan aktivitas LSM, secara bersama-sama. Sehingga, generasi muda mengetahui bahwa perjalanan panjang kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari masa exsploitasi tenaga dan perbudakan sexual di masa Jepang. Sehingga kemudian, generasi muda dapat menjadikan masa itu sebagai pelajaran untuk tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

3. Reparasi hak-hak Jugun lanfu (restitusi, rehabilitasi, kompensasi)

sebagai korban kejahatan maka sudah seharusnya mereka mendapatkan haknya berupa restitusi, rehabilitasi dan kompensasi dari pemerintah Jepang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan seksual yang dilakukan oleh militer/sipil Jepang pada masa penjajahan. tuntutan ini masih terus diperjuangkan karena sampai saat ini pemerintah Jepang belum pernah memberikan reparasi secara langsung terhadap para Jugun lanfu Indonesia.

tuntutan pemberian reparasi berupa restitusi, rehabilitasi dan kompensasi disikapi oleh pemerintah Jepang dengan membentuk lembaga swasta yang bernama Asian Women's Find (AWF) pada tahun 1995 yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi uang secara tunai kepada para Jugun lanfu Asia yang masih hidup tanpa permintaan maaf yang resmi dari pemerintah Jepang. tindakan pemerintah Jepang ini memicu kontroversi, oleh karena sumber pendanaan bukan berasal dari pemerintah Jepang melainkan dikumpulkan dari para pengusaha dan masyarakat Jepang yang tidak mengetahui masalah Jugun lanfu.

pembentukan AWF dinilai sebagai tindakan pemerintah Jepang untuk mengelak dari tanggung jawab perang. kontroversi keberadaan AWF menjadi alasan bagi para ex Jugun lanfu Asia (termasuk Indonesia) menolak pembayaran ganti rugi dari kelompok AWF. namun dengan berbagai tipu muslihat pemerintah Jepang melalui AWF berhasil mengelabui sebagian Jugun lanfu di Asia yang sebagian besar hidup miskin dan membutuhkan uang.

dari berbagai sumbangan yang berhasil dikumpulkan AWF dari masyarakat Jepang, AWF telah membayar uang ganti rugi sebesar 2 juta Yen  atau USD 19.470 pada setiap orang dari 285 mantan Jugun lanfu di Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan. sementara itu, pemerintah Jepang memberi 2 juta Yen sampai 3 juta Yen per orang sebagai dana santunan kesehatan. AWF juga memberi dana bantuan kesehatan kepada 79 perempuan di Belanda.

untuk kasus di Indonesia ada fenomena yang perlu menjadi perhatian. disatu sisi pada saat para ex Jugun lanfu berjuang untuk memperoleh keadilan, pemerintah Indonesia sama sekali tidak memberikan dukungan dalam bentuk apapun. tidak adanya dukungan pemerintah Indonesia kepada ex Jugun lanfu semakin jelas dengan adanya statement yang menyatakan "sejak awal pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan menuntut kompensasi.

pemerintah hanya mengharapkan agar pemerintah Jepang mencari cara penyelesaian dengan baik. hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah Indonesia untuk tetap menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia khususnya para korban." namun ketika ada dana kompensasi untuk Jugun lanfu dari AWF ternyata yang menerima justru pemerintah Indonesia melalui departemen sosial untuk membangun panti jompo di lima wilayah di lima provinsi yang berada di Indonesia, antara lain Jawa tengah, Jawa timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara, dan Sumatera Utara.

ada ketidaksesuaian sikap pemerintah Indonesia terhadap para perempuan korban kejahatan yang dilakukan oleh Jepang. Jugun lanfu dianggap sebagai aib bangsa yang tidak perlu dipersoalkan lagi, namun disisi yang lain keberadaan Jugun lanfu menjadi komoditi pemerintah Indonesia memperoleh dana pembangunan dari Jepang melalui AWF. realisasi kerja sama antara pemerintah RI (departemen sosial RI) dengan Asian Women's Fund (AWF) telah dibangun wisma masing-masing PSTW seluas 180 m² di 69 PSTW yang berupa pembangunan sejumlah 61 PSTW berikut peralatannya dan renovasi sejumlah 8 PSTW yang tersebar di 26 provinsi. total keseluruhan dana bantuan AWF adalah sejumlah Rp 24.156.315.649 dan berakhir pada maret 2007.

sebagaimana diketahui bahwa MOU antara pemerintah Indonesia dengan AWF dimaksudkan untuk penanganan masalah Jugun lanfu digariskan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial wanita/lanjut usia di Indonesia pada umumnya melalui pengembangan panti sosial tresna werdha (PSTW) secara bertahap yang diperuntukkan bagi mantan Jugun lanfu yang memerlukan. padahal Jugun lanfu tidak pernah menerima dana bantuan dari pemerintah Indonesia sepeserpun. pembahasan MOU tanpa pelibatan korban Jugun lanfu Indonesia dan/atau pendamping Jugun lanfu Indonesia.

kebijakan ini diambil tanpa terlebih dahulu mendengar masukan dan melibatkan korban langsung dalam pengambilan keputusan tersebut, dengan melihat kondisi sosial dan budaya serta ekonomi korban yang ternyata lebih membutuhkan uang ganti rugi ketimbang rumah panti jompo untuk meneruskan hidup dan membiayai pemulihan kesehatannya. dinegara lain, kompensasi diberikan langsung kepada korban sedangkan kompensasi Jugun lanfu di Indonesia diberikan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk pembangunan panti tresna werdha (panti jompo). dengan demikian sampai saat ini para ex Jugun lanfu tidak pernah menerima kompensasi secara langsung.

Comments

Popular posts from this blog