Membaca Perempuan Secara Utuh

MEMBACA PEREMPUAN SECARA UTUH


Kaum perempuan hingga saat ini merupakan topik yang terus menarik dibincang, baik oleh kaum mereka sendiri maupun kaum laki-laki. Ada beragam tujuan dalam mengangkat topik yang satu ini.

Sebagian membahasnya untuk meneguhkan dominasi kaum laki-laki, dan sebagian lain sebaliknya. Ada pula yang mengupasnya dengan tujuan untuk mendudukkan mereka sejajar dengan kaum laki-laki.

Pola pengungkapannya juga sangat variatif, dari sekedar guyonan ringan hingga bahasan yang sangat serius dan akademik. Bahkan ada yang sangat sarat dengan nuansa teologis. Demikian lumrahnya guyonan yang dikaitkan dengan kaum hawa ini. Tidak jarang joke tersebut sangat melecehkan kaum perempuan. Menanggapi hal itu, sebagian orang langsung merah padam, sangat reaktif, dan marah amat (seandainya punya jenggot, pasti ia kebakaran jenggot...). Padahal orang yang melontarkan canda itu terkadang tidak sadar bahwa hal itu merupakan sexual harassement. Sejatinya bukan dia yang mengungkapkan. Dia hanya penyampai pesan dari kondisi yang ada. Ia lebih merupakan perwujudan dari pandangan masyarakat atau kelompok tertentu. Dalam ungkapan lain, gurauan itu lebih merepresentasikan tradisi, bahkan budaya yang ada dalam masyarakat, minimal kelompok tertentu; suatu kondisi yang meletakkan perempuan memang seperti itu.

   Baca Juga : Gangguan berbicara pada anak pada usia dini

Namun kita juga tidak jarang menemukan suatu ungkapan, pernyataan dan sejenisnya yang mengangkat kaum perempuan begitu tinggi, demikian agung kaum hawa ini dianggap sebagai salah satu representasi dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Lembut, Maha Indah dan Maha Sempurna. Watak sejati perempuan adalah kepengasihan dan kelembutan. Perempuan itu adalah keindahan itu sendiri. Kaum hawa adalah keagungan dan keluhuran.

Sekelumit uraian di atas mencerminkan bahwa realitas kaum perempuan masih merupakan wacana yang belum selesai. Lebih jauh lagi, relasi perempuan dan laki-laki masih penuh dengan misteri. Betapa tidak demikian. Banyak kaum lelaki yang menganggap perempuan tak lebih sebagai sampah, meletakkan perempuan jauh diluar kehidupan yang sebenarnya. Namun pada saat yang sama, mereka yang sangat melecehkan kaum perempuan ini demikian tergantung kepada perempuan. Mereka seakan-akan tidak bisa hidup tanpa kaum perempuan. (Entah benar atau tidak, suatu penelitian menyebutkan bahwa kaum Adam lebih tidak tahan ditinggal pasangannya dibandingkan dengan perempuan yang ditinggal pasangannya. Suami yang ditinggal mati perempuan lebih pendek usianya ketimbang istri yang ditinggal mati suaminya).

Perempuan pun yang demikian mengagung-agungkan feminisme, melupakan kodratnya sebagai perempuan, dan ingin seutuhnya sama dengan kaum lelaki terkadang harus bertekuk letut dengan realitas yang ada. Faktor biologis yang berbeda, misalnya, mengantarkan sebagian kaum perempuan ke dalam situasi yang tidak semudah yang dibayangkan. Bagaimana pun mereka akhirnya harus menyadari bahwa inilah serba serbi atau seluk beluk kehidupan yang masing-masing memiliki hukum alamnya sendiri-sendiri.

   Baca Juga : pahlawan wanita, pengubah sejarah bangsa

Hukum alam memaksa kita bahwa perempuan tidak bisa dipertentangkan dengan lelaki. Demikian pula, laki-laki tidak bisa disamakan dengan perempuan. Masing-masing memiliki perbedaan, karakter, dan kekhasan masing-masing. Namun pada saat yang sama, adanya perbedaan sama sekali tidak menunjukkan bahwa kelamin yang satu lebih baik dari kelamin yang lain. Realitas kehidupan memperlihatkan, adanya perbedaan tidak mengindikasikan jenis yang satu lebih tinggi derajatnya dari jenis yang lain. Perbedaan lebih merupakan warna warni kehidupan yang tak ubahnya sebagai simfoni orkestra dimana alat musik yang satu menyempurnakan yang lain, dan nada yang satu memperindah nada lainnya.

Pada sisi itu signifikansi kehadiran agama senyatanya menjadi tidak terbantahkan. Agama hadir untuk menghilangkan keangkuhan, egoisme, dan pandangan dikotomis. Agama menuntut kita untuk menyadari kelemahan dan kekurangan kita masing-masing, dan ketergantungan kita kepada yang lain. Masing-masing kita disadarkan bahwa karena kita memerlukan pasangan, maka kita dituntut untuk melanggengkan hubungan berpasangan. Kelanggengan akan tercipta manakala posisi masing-masing berada dalam kesejajaran. Masing-masing tidak boleh mendominasi terhadap yang lain.

   Baca Juga : pelayanan kesehatan peduli remaja dalam program kesehatan reproduksi dan pengendalian HIV-AIDS melalui transmisi seksual

Kearifan adalah salah satu ajaran utama agama. Melalui nilai ini, kaum lelaki perlu mengembangkan pandangan yang utuh tentang eksistensi kaum perempuan; dan sebaliknya perempuan juga harus Arif melihat kondisi yang belum kondusif. Kemudian, mereka harus arif menghargai satu sama lain.

Selebihnya, ajaran lain dari agama yang perlu dilabuhkan kedalam diri kita adalah menumbuhkan kejujuran bahwa agama mengajarkan tentang "kesetaraan"; yang tentu berbeda dengan konsep "kesamaan". Demikian pula, ajaran agama tentang perbedaan perempuan dan laki-laki tidak bisa dibiaskan menjadi konsep membeda-bedakan yang satu dari yang lain. Semua itu perlu dibingkai dengan ajaran agama tentang kedewasaan.

Beragama adalah menjadi dewasa intelektual dan emosional. Karena itu, kita niscaya menafsirkan ajaran agama dengan penuh kedewasaan, lepas dari kepentingan sesaat dan pragmatis, dan pemahaman yang sepotong-potong eksistensi manusia, laki-laki dan perempuan harus dilihat secara utuh sebagai makhluk yang berasal min nafsin Wahidah, yang sama-sama Mulya, bermartabat dan sebagai Khalifah Allah.

Comments

  1. yep setuju dengan statement ini : "Masing-masing memiliki perbedaan, karakter, dan kekhasan masing-masing. "

    ReplyDelete
  2. Paragraf terakhir sebagai penutup sangat keren, top 👍

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog